Rabu, 18 November 2009

Kelahiran Nabi Muhammad SAW

Kelahiran Nabi di Tahun Gajah
Tanggal 12 Rabiul Awwal, tahun 570 M, ketika bulan bercahaya, hadirlah seorang bayi mulia yang diberi nama Muhammad Ibn Abdullah Tahun kelahiran sang bayi mulia ini disebut juga tahun Gajah oleh Quraisy. Mengapa disebut tahun Gajah? Gajah ini simbol adanya agresi militer yang dilancarakan, Abrahah al-Habsyi , seorang penguasa dari Yaman yang hendak merobohkan Ka’bah. Dalam benaknya jika Ka’bah hancur tentulah para penziarah tidak akan lagi datang ke Mekkah , dan ia sendiri akan memaksa para penziarah untuk datang ke kota Shana’a , ibu kota Yaman untuk berziarah seperti halnya berziarah ke Ka’bah. Di Shana’a sang raja telah menyiapkan tempat ziarah yang dihiasi dengan keramik, emas dan permata.
Misi menghancurkan Ka’bah ini bukanlah hanya sekedar misi agama saja, namun kepentingan ekonomi lebih mendasari keinginan Abrahah agar banyak devisa yang akan mengalir ke kas Negara jika para peziarah datang ke sana’a.
Bergeraklah pasukan Abrahah dengan menggunakan mesin perang modern ketika itu, yaitu Gajah.
Agresi Abrahah ini memang sudah diketahui oleh masyarakat Quraisy ketika itu. Meskipun suku Quraisy dikenal gagah berani, tidak takut terhadap lawan, namun ketika menghadapi pasukan yang lebih banyak dari mereka yang dilengkapi senjata modern dengan mesin perang yang canggih pula, tentulah bukan lawan seimbang bagi mereka. Upaya politik dilakukan oleh Abdul Muthalib untuk mengadakan perundingan dengan Abrahah. Namun Abrahah bersikeras dan tidak mau berkompromi, , “Pokoknya Ka’bah harus hancur “ begitu dalam benaknya.

Ka’bah kan Milik Allah !!!
Di saat keputus asaan melanda warga Quraisy, Abdul Muthalib kemudian hanya meminta satu permohonan saja. Hanya minta mengembalikan 200 ekor unta miliknya yang disita pasukan Abrahah di lua kota Mekkah. Tentulah Abrahah heran dan tidak habis pikir, “Kok ketika kotanya akan diserang, orang ini malah ngurusin untanya?? Apa ia tidak takut kepada saya??? Padahal kotanya diambang kehancuran? Dan tidak takut lagi ketika meminta, padahal Abrahah dikenal bengis dan kejam.
Dengan enteng Abdul Muthalib hanya menjawab, bahwa unta-unta itu miliknya dan ia harus mengurusnya, sedangkan Ka’bah itu milik Allah dan pastilah Allah akan melindunginya.
Ternyata benarlah yang dikatakan Abdul Muthalib , karena Allah pemilik Rumah Nya, maka pastilah Allah akan melindunginya. Ketika Abrahah memberi aba-aba kepada pasukannya untuk menyerang, tiba-tiba Gajah itu panik dan menolak masuk ke kota Mekkah. Namun ketika diarahkan ke lain arah, anehnya Gajah itu mau berjalan. Tiba-tiba cuaca berubah, langit menjadi hitam gelap dan tiba-tiba datang sekelompok burung yang melempari Abrahah dan pasukannya hingga binasa dan sebagian pasukan lari kocar kacir dan akhirnya mati mengenaskan di padang pasir yang tandus termasuk Abrahah sendiri.
Beberapa sejarahwan mengatakan, bahwa burung-burung itu membawa wabah pula yang mungkin penyakit campak dan kolera.
Di tahun inilah lahir seorang bayi mulia, penghibur sang ibu yang sebelumnya tertelan kesedihan ditinggal sang suami. Begitu pula menjadi kebangaan sang kakek yang telah kehilangan anak yang sangat disayaginnya,. Abdullah
Seperti anak lainnya dalam tradisi Arab ketika itu, ketika seorang bayi lahir, maka sang bayi diserahkan kepada seorang wanita yang bertugas sebagai perawat dan menyusuinya sekaligus serta tinggal di pendalaman. Hikmah diu balik penyusuaan ini, sang bayi mulia ini akan fasih dalam berbicara karena bahasa yang akan digunakan kelak karena masih asli dan belum tercampur dengan gaya bahasa lainnya, selain ia mampu hidup nantinya di iklim semenanjung Arab. Sejarah tidak akan pernah melupakan wanita yang merawat sang bayi, yaitu Halimatusa’diyyah.

Masa Kecil dan Wafatnya Ibunda
Masa kecil Muhammad Ibn Abdullah dihabiskan di kampung Bani Sa’ad yang terletak tidak jauh dari kota Mekkah. Setelah lima tahun, beliau dikembalikan ke rumah kakeknya Abdul Muthalib , dan ibunya, Aminah. .
Beberapa bulan kemudian, Aminah .
mengajak anaknya berziarah ke kuburan ayahnya di Yastrib (Madinah sekarang) .
, sekaligus memperkenalkan bibi-bib beliau dari pihak ayah dari marga Bani Najjar. Perjalanan dari Mekkah ke Yastrib yang jauhnya sekita 500 km ditempuh dalam waktu kurang lebih satu bulan. Rombongan ini yang terdiri dari Aminah, Muhammad dan seorang pembantu menetap sementara di Yastrib sebelum
Akhirnya pulang ke Mekkah. Dalam perjalanan pulang, Aminah sakit keras dan akhirnya wafat dalam perjalanan, kemudian dikuburkan di daerah Abwa
Dalam usia 6 tahun Rasulullah telah menjadi yatim piatu dan beliau sekarang diurus kembali oleh kakeknya Abdul Muthalib. Dari sang kakek, beliau mendapat curah kasih sayang dan kelembutan. Sang kakek sering mengajak beliau pergi seperti pertemuan-pertemuan dengan para pemuka Quraisy di sekitar Ka’bah dan lainnya.
Abdul Muthalib sendiri ketika itu telah berusia lebih dari 100 tahun dan 2 tahun sejak meninggalnya sang ibu, sang kakek yang sangat menyanyanginnya, meninggal dunia.

Babak Baru Dalam Sejarah; Peran Sang Paman
Mulailah babak baru dalam sejarah perjalanan Nabi, yaitu dengan masuknya salah satu pamanya dari pihak bapak yaitu. Abu Thalib Ibn Abdul Muthalib Abu Thalib termasuk orang yang mempunyai andil besar terhadap Nabi dan dakwah Islam di kemudian hari.
Abu Thalib memutuskan untuk mengasuh anak saudaranya yang yatim piatu dengan kasih sayang, perhatian, kelembutan dan perlindungan. Dan perlakuan Abu Thalib ini akhirnya membuat Nabi terhibur atas kesedihan setelah ditinggalkan kakek dan ibunya.
Abu Thalib sendiri tidak saja memperlakukan Nabi seperti anaknya sendiri, bahkan diperlakukan lebih dari pada anaknya sendiri. Ini terlihat ketika Abu Thalib melindungi Nabi sekuat tenaga sampai akhir hayatnya.

Nabi Mulai Berbisnis

Masa muda Nabi tidak dihabiskan di bangku sekolah, madrasah atau universitas manapun, karena pendidikan saat itu hanya bagi kalangan mampu dan kaya. Meskipun Abu Thalib cukup terkenal di kalangan Quraisy, namun ia bukanlah orang yang kaya dan itu disadari oleh Nabi. Nabi sendiri berupaya agar secepat mungkin bisa bekerja agar tidak merepotkan pamannya, yaitu secepat mungkin bisa membantu bisnis daganggan pamanya.
Setelah menginjak usia ke 13, Nabi mulai diajak pamannya berbisnis dalam satu ekspedisi pedagangan menuju Syria. Selama perjalanan, Nabi banyak membantu Abu Thalib dan sambil belajar (learning by doing) kiat-kiat berbisnis dari pamannya. Selain ikut berbisnis dengan pamannya, pemuda ini tidak malu mencari pekerjaan lain, meskipun mengembala kambing dangan gaji yang minim.
Keistimewaan pemuda ini sudah terlihat sejak kecil, dimana beliau tidak suka menyia-nyiakan waktunya bermain yang tidak berguna. Beliau tidak suka berbicara panjang lebar, ia dikenal berprilaku tenang, berwibawa, cenderung suka menyendiri dan sering mengamati lingkungan di sekelilingnya. Ia tidak suka pula Clubing, pergi ke tempat hiburan yang biasa dilakukan teman-teman seumurnya.

Kajian Al Qur'an

Sebelumnya kita telah menjelaskan sebab-sebab pencatatan Qur’an di era Ustman bin Affan. Namun sebelumnya kita simpulkan beberapa penjelasan penting yang terkait dengan tulisan-tulisan sebelumnya agar leluasa memahami kajian ini di tulisan berikutnya. Dan juga kesimpulan ini jawaban dari beberapa comment yang nadanya seakan-akan Bahwa Mushaf Al-Qur'an baik di era Abu Bakar atau Ustman berbeda. Apalagi ada yang menyangkan bahwa kedua Mushaf ini berbeda dengan Al-Qur'an sekarang ini. Aatupun ini sebagai jawaban bagi teman-teman muslin yang sering baca tentang sejarah Al-Qur'an di web-web atau blog Indonesia yang sudah copy paste dari sana sini (karena semua tulisannya sama) dan tidak diketahui dari mana sumbernya asli. Padahal tulisan-tulisan itu banyak mengutarakan pendapat ORIENTALIS tanpa disadari.. naudzbubillah

1. Bahwa harus dibedakan antara kata TADWIN QUR’AN (membukukan Quran menjadi satu buku utuh) dan KITABAH Al-QUR”AN (catatan Quran/penulisan quran) . TADWIN QURAN berarti membukukan Quran menjadi satu buku seperti Quran yang sekarang ini dan itu belum dilakukan di masa Nabi. Yang ada di era Nabi adalah KITABAH QURAN. Yaitu Qur’an dicatat di serpihan kayu., kulit atau media tulisan lainnya, baik dilakukan oleh sekertaris Nabi yang diperintahkan langsung oleh Nabi. Atau oleh beberapa sahabat yang sudah bisa membaca dan menulis. Dengan demikian catatan Quran (Kitabah) sudah ada sejak zaman Nabi Saw dan yang belum ada adalah penyusunan Quran (Tadwin) menjadi satu buku utuh.

2. MENGAPA QURAN BELUM DIBUKUKAN KETIKA NABI SAW MASIH HIDUP? SALAH SATU JAWABANNYA KARENA WAHYU BELUM SEMPURNA TURUN DAN KETIKA ITU AYAT DAN SURAT BELUM TERSUSUN. BARU MENJELANG BELIAU WAFAT DAN QURAN SUDAH TURUN SEMPURNA, BELIAU MEMERINTAHKAN AGAR AYAT INI DILETAKAN SANA SINI BEGITU PULA PENYUSUNAN SURATNYA.

3. Al-Qur’an sendiri di masa Nabi dihafal oleh para sahabat meskipun sahabat itu menulis juga dalam bentuk catatan pribadi, terkecuali para sahabat yang ditugaskan Nabi untuk mencatat. Dengan demikian penyampaian Al-Qur’an dari masa ke masa sebenarnya berlanjut melalui para Hufaz (para penghafal Qur’an).

4. Nabi ketika menerima wahyu langsung disampaikan kepada sahabat, dan sahabat menerimanya sambil dihafal. Sahabat yang tidak hadir ketika itu diberitahu oleh sahabat lainnya sambil juga menghafalnya dan begitu seterusnya. Sehingga ketika misalnya satu ayat datang, hari itu juga sahabat menghafalnya dan hampir seluruh sahabat di Madinah hafal. Sahabat yang ada di luar kota, dalam perjalanan, atau yang ketika itu tidak hadir akan bertanya, atau diberitahu oleh sahabat lainnya. Terkadang hafalan yang diterima dari sahabat lainya dicocokan dengan hafalan sahabat lainnya agar sesuai.

5. Sebelum Nabi Saw wafat, dan wahyu tidak turun lagi, letak susunan ayat atau surat sudah ditertib, dan para sahabatpun mengetahuinya. Karena satu berita dari Nabi apalagi yang berkenaan dengan Qur’an langsung tersebar diantara para sahabat. Sahabat yang berada di luar kota, dalam perjalanan atau di tempat jauh akhirnya pun mengetahuinya. Karena antara sahabat dengan sahabatpun ada kalanya seperti guru dan murid. Sahabat besar (Kibar Sohabat) terkadang atau bahkan sering mengajar sahabat lainnya.

6. Hampir semua sahabat hafal Qur’an, ada yang hafal seluruhnya ketika Nabi masih hidup, seperti khalifah empat, Ibnu Masud, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin tsabit dan lainnya. Ada pula yang menghafal sedikit-sedikit dan hafal seluruhnya ketika Nabi sudah wafat. Namun ada pula sahabat yang tidak semuanya hafal Qur’an dan biasanya adalah sahabat yang terakhir masuk Islam. Jadi kesimpulannya hampir 90 persen sahabat hafal Qur’an. Dan proses pengajaran dan kesinambungan sampainya bacaan Qur’an pada generasi selanjutnya, yaitu dari generasi sahabat kepada tabi’in, kemudian tabi’in kepada generasi selanjutnya dan begitu seterusnya adalah dengan proses hafalan Qur’an. Proses belajar Islam ketika itu adalah menghafal Qur’an dan ada pula sambil menulisnya. Selain mempelajari hadist-hadist Nabi Saw.

7. Proses pembukan Quran (era dimulainya Tadwin Quran) di era Abu Bakar adalah mencatat kembali dari beberapa catatan Qur’an yang ada di tangan sahabat lainnya menjadi satu catatan utuh. Namun BACAAN QURAN SENDIRI dengan dilengkapi letak surat dan ayat sudah dihafal oleh sahabat semuanya. Artinya Mushaf Abu Bakar itu mensikronkan hafalan dangan catatan Quran yang pernah ditulis untuk dijadikan satu buku.

8. Dengan demikian Al-Qur’an meskipun belum tercatat secara utuh dalam bentuk BUKU/MUSHAF , Namun setelah meninggalnya Nabi Saw BACAAN QURAN SUDAH LENGKAP & TERTIB, seperti yang biasa kita baca hari ini.
Jadi Al-Quran itu sebelum dijadikan mushaf di masa Abu Bakar, sudah tertib susunan ayatnya atau suratnya dan yang belum ketika itu hanyalah membukukan Qur'an itu saja.
Itulah sebabnya timbul perdebatan panjang antara Abu Bakar dan Umar bin Khattab pentingnya Qur’an dicatat dan bukan dihafal saja. Karena banyak para Hufaz yang wafat dan takut nantinya generasi berikutnya, yang bisa dikatakan tidak kuat menghafal Qur;an dapat membaca Qur’an melalui Mushaf.

9. Dan ketika selesai pencatatan Qur’an di era Abu Bakar, TIDAK BERARTI BACAAN QURAN TIDAK SEMPURNA, karena proses pembukuan Qur’an di masa Abu Bakar, sebenarnya memindahkan hafalan Quran dalam satu buku dan mencocokan dengan catatan-catatan yang ada yang tersebar di para sahabat. TIDAK SATUPUN AYAT YANG TERLUPAKAN ATAU DIGANTI ATAU LAINNYA. Dengan alasan Pembukuan AL-QURAN ITU SEBENARNYA JUGA MELIHAT LANGSUNG CATATAN QURAN (KITABAH QURAN) YANG DITULIS ATAU ATAS PERINTAH LANGSUNG DR NABI. YANG CATATAN ITU TERSEBAR DI TULISAN SEKRETARIS NABI, ATAU CATATAN LAINNYA DI BEBERAPA SAHABAT.

10. Proses pembukuan Quran di era Abu Bakar penuh ketelitiaan, artinya bahwa ketika Mushaf itu selesai maka seluruh sahabat menerimanya secara aklamasi tanpa satupun sahabat yang menyanggah. Maksudnya tulisan quran di Mushaf itu SESUAI DENGAN HAFALAN QURAN YANG TELAH DIHAFALNYA selain merujuk catatan yang sudah ada. Baik Hafalan itu dihafalnya ketika masih hidup dan dibacakan di depan Nabi atau lewat sahabat lainnya.

11. Ada comment janggal (tidak tahu apakah pertanyaan atau peryataan) bahwa kesepakatan penerimaan Qur’an dalam satu mushaf itu kan di zaman sahabat bukan zaman Nabi. Dengan kata lain tidak menjadi standar harus diterimanya Mushaf Abu Bakar (Bukan Mushaf Utsmani)
Kita jawab tanpa perlu memasukan komentar para ahli sejarah Islam:
• Pertama, Kalau sekiranya Qur’an itu salah ataulah palsu meskipun satu huruf, kita tidak membayangkan betapa bodohnya para sahabat. Masa mereka membiarkan kebohongan ada dihadapan mereka dan untuk apa mereka berperang?, banyak kebaikan? dan lainya jika ada kesalahan tentang Qur’an dan mereka diam saja? Dan sejarah tidak mencatat ada satupun sahabat mengunggat keabsahan MUSHAF ABU BAKAR (Silahkan lihat referensi Bidayah Wa Nihayah, Sir ‘Alam nubula atau kitab2 hadist yang menceritakan tentang pembukuaan Qur’an)
• Kedua, Jika memang kesepakatan sahabat secara aklamasi tidak dianggap benar berarti ayat Qur’an yang menyatakan bahwa Allah itu akan menjaga Al-Qur’an pastilah bohong dan tidak berarti,Karena ada beberapa ayat misalnya bukan ayat Qur’an.
• Ketiga: Mushaf Abu Bakar berasal dari catatan-catatan Qur’an yang ditulis di masa Nabi, baik oleh sekertaris Nabi atau catatan sahabat lainnya. Jadi sebenarnya memindahkan catatan saja ke buku baru
• Keempat: Pembukuan Mushaf Abu Bakar ditulis berdasarkan semua hafalan para sahabat yang berjumlah ribuan. Ketika semua saragam membacanya misalnya oleh 30.000 ribu orang, apakah Mushaf Abu Bakar ini ada ayat quran yang beda atau salah? Mana mungkin 30.000 orang sepakat dalam kesalahan???

DENGAN DEMIKIAN MUSHAF ABU BAKAR SESUAI DENGAN BACAAN QUR’AN YANG DIAJARKAN NABI SAW DAN TIDAK ADA SATUPUN YANG BERUBAH.


Mengenai Mushaf Ustmani
MUSHAF UTSMANI ITU ADALAH SUMBER AL-QUR’AN YANG ADA PADA KITA SEKARANG INI DAN BUKAN YANG BERBEDA DENGAN QURAN SEKARANG INI Meskipun ketika itu belum ada harokat bahkan huruf-huruf belum ada titiknya. Huruf BA tidak ada titik dibawahnya juga huruf TSA, JIM dan lainnya. Tentu saja mereka bisa membacanya. Sesuai dengan perkembangan selanjutnya Qur’an akhirnya diberi titik dan harokat. Kenapa??? Agar orang NON ARAB (Ajam) bisa membacanya. Bahasa Arab sekarang ini, baik Koran, buku pelajaran, komik, novel, kitab hadist, tafsir tidak satupun diberi harokat (Arab Gundul) tapi mereka bisa membacanya karena memang itu bahasa mereka, their Mother Tongue. Jadi Hanya Qur’an saja yang diberi Harokat dan kitab2 hadist, agar yang baru belajar bahasa Arab bisa mengerti.

JADI MUSHAF USTMANI DENGAN AL-QUR’AN YANG KITA BACA SEKARANG INI ADALAH SAMA. DAN SEKARANG SUDAH DIBERI TANDA DI HURUF-HURUFNYA DAN SUDAH DIBERI HAROKAT.
DENGAN MENGIKARI MUSHAF UTSMANI SAMA HALNYA DENGAN MENGIKARI QURAN SAAT INI.

CATATAN PENTING

Perlu kiranya diperhatikan dan dikaji dengan seksama bahwa para orientalis (sarjana barat yang mempelajari Islam) sudah lebih dari 1 abad mereka mempelajari Qur’an, bahkan banyak dari mereka langsung pergi ke Negara timur tengah, mempelajari BAHASA ARAB SAMPAI MEREKA BISA MEMBACA KITAB-KITAB ISLAM. Mereka membuat Tesis, disertasi tentang Qur’an khususnya, tapi tetap saja mereka bukan orang Islam yang dan kebanyakan dari mereka menjelekan nama Islam, khusunya Qur’an. Dengan kata lain pencatatan Qur’an dari sejak Abu Bakar sampai Utsman Bin Affan mendapat sorotan kaum orieantalis. Kesimpulan mereka antara lain, bahwa Mushaf Utsmani itu sudah berubah dari aslinya, artinya
QUR”AN KITA SEKARANG INI SUDAH DIPALSUKAN. TIDAK ASLI dan lainnya.
Ada satu jawaban bagi mereka kalangan orientalis yang mereka pun tidak bisa membatahnya bahwa:

Tulisan ataupun gaya tulisan (Khat) Quran bisa berbeda, namun bacaanya (Qiraahnya) tidak berubah. Dari sejak Nabi menerima wahyu berupa ayat-ayat Qur’an kemudian diajarkan kepada sahabat dengan tata cara membacanya. Sahabat menghafalnya dengan cara membacanya persis seperti Nabi membacanya, kemudian sahabat mengajarkan kepada Tabi’in seperti yang mereka dengar dan mereka hafal dari Nabi, para tabi’in menghafalnya dan kemudian mengajarkan lagi kepada generasi berikutnya sampai akhirnya kepada kita. Corak tulisan Qur’an boleh berbeda di setiap masa, di setiap daerah namun bacaan nya tetap satu dan inilah bukti yang tidak bisa dibantah meskipun oleh orientalis sekalipun. Dan benarlah firman Allah Swt:

“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (QS. Al-Hijr: 9)

Tentulah kita tidak perlu mengkritik di comment-comment di Page Belajar Ilmu Qur’an dengan keras, kasar kepada orientalis karena tidak akan dibaca oleh mereka. Kata-kata keras, kritik kasar dan cemooh tentulah bukan solusi. Namun sangat disayangkan jika kita terpengaruh oleh pemikiran orientalis itu. Banyak sekali di web-web copy paste yang tidak diketahui siapa penulisnya khususnya tentang Quran dan hadist yang intinya bahwa dua sumber Islam adalah rekayasa sahabat.
Yang disayangkan banyak dari kita sendiri yang tidak tahu, tidak belajar, tidak membaca dan bahkan tidak mengkaji sejarah Qur’an itu sendiri. Apalagi dengan membuat tesis, makalah dengan bahasa Inggris di fakultas filsafat di luar negeri untuk membantah teori-teori yang telah mereka kembangkan.Hanya ada beberapa seperti halnya Syeikh al-Alamah Prof. Dr. AL-Azhami, mantan guru besar hadist di Riyadh yang tekah berhasil merobohkan pandangan orientalis.

Dan bukan solusi pula kita mengejek, mencela, mengkritik para sarjana atau ulama Islam khususnya ahli sejarah kenapa tidak mampu merobohkan teori-teori orientalis.
Yang penting ayo kita belajar agama, namanya juga mencari ilmu, berarti ilmu Islam itu harus ada kepayahan mencarinya, mendatangi satu tempat, pergi bertemu dengan seseorang untuk bertanya, belajar atau berdiskusi. Setidaknya saat ini yang mudah dan mampu kita kerjakan kita datangi toko buku, cari buku, baca, dan kaji. Ataupun membaca majalah Islam dan lainnya. Tentu saja Blog ini bukan sarana mencari ilmu yang paling efektif karena keterbatasan ruang tulisan.
Al-Qur’an ini milik kita dan kita pun harus menjaganya.

Kajian Filsafat

KAJIAN PADA MAKNA DAN PERBEDAAN ANTARA FILSAFAT DENGAN ILMU, PERBEDAAN ANTARA ILMU FILSAFAT DAN FILSAFAT ILMU SERTA URGENSI KAJIAN FILSAFAT DI MASING-MASING PROGRAM STUDI

A. Pendahuluan
Filsafat adalah sesuatu yang berharga dan bermanfaat dalam perkembangan umat manusia, terlebih dalam dunia pengetahuan dan ilmu. Dalam pengembangan, pengujian atau pembuatan ilmupun filsafat punya wadah khusus yang tugas dan fungsinya di bidang tersebut, yaitu filsafat ilmu.
Mengingat nilai guna dan besarnya manfaat filsafat ilmu bagi perkembangan ilmu pengetahuan ini maka filsafat ilmu layak dikaji dan dipahami setiap orang, termasuk para akademisi dan ilmuwan di bidangnya. Karena tidak menutup kemungkinan dengan filsafat ilmu ini ilmu baru akan tercifta dan terus tercifta dari ilmu yang sebelumnya.

B. Latar Belakang
Filsafat ilmu sangat penting peranannnya terhadap penalaran manusia untuk membangun ilmu, sebab filsafat ilmu akan menyelidiki, menggali dan menelusuri sedalam, sejauh dan seluas mungkin semua tentang hakikat ilmu. Dalam hal ini kita bisa mendapatkan bahwa filsafat ilmu merupakan akar dari semua ilmu dan pengetahuan.
Dewasa ini filsafat tidak mendapatkan perhatian dan pembahasan yang cukup dari kita semua, bahkan filsafat ilmu sering diidentikkan dengan ilmu filsafat padahal ini adalah pandangan yang keliru. Pikiran semacam itu sering rancu dipahami banyak pihak. Pembahasan mengenai hal ini sangat penting karena masih banyak diantara kita salah kaprah dalam menerima arus informasi global. Maka dalam makalah ini akan dibahas mengenai kajian pada makna ilmu, perbedaan antara filsafat dan ilmu, perbedaan antara filsafat ilmu dan ilmu filsafat serta urgensi kajian filsafat di masing-masing program studi.

C. Kajian teori
1. Pengertian filsafat
Istilah “filsafat” dapat ditinjau dari dua segi, yakni: a. Segi semantik: perkataan filsafat berasal dari bahasa arab ‘falsafah’, yang berasal dari bahasa yunani, ‘philosophia’, yang berarti ‘philos’ = cinta, suka (loving), dan ’sophia’ = pengetahuan, hikmah(wisdom). Jadi ‘philosophia’ berarti cinta kepada kebijaksanaan atau cinta kepada kebenaran. Maksudnya, setiap orang yang berfilsafat akan menjadi bijaksana. Orang yang cinta kepada pengetahuan disebut ‘philosopher’, dalam bahasa arabnya ‘failasuf”. Pecinta pengetahuan ialah orang yang menjadikan pengetahuan sebagai tujuan hidupnya, atau perkataan lain, mengabdikan dirinya kepada pengetahuan. B. Segi praktis : dilihat dari pengertian praktisnya, filsafat bererti ‘alam pikiran’ atau ‘alam berpikir’. Berfilsafat artinya berpikir. Namun tidak semua berpikir bererti berfilsafat. Berfilsafat adalah berpikir secara mendalam dan sungguh-sungguh. Sebuah semboyan mengatakan bahwa “setiap manusia adalah filsuf”. Semboyan ini benar juga, sebab semua manusia berpikir. Akan tetapi secara umum semboyan itu tidak benar, sebab tidak semua manusia yang berpikir adalah filsuf. Filsuf hanyalah orang yang memikirkan hakikat segala sesuatu dengan sungguh-sungguh dan mendalam. Tegasnya: filsafat adalah hasil akal seorang manusia yang mencari dan memikirkan suatu kebenaran dengan sedalam-dalamnya. Dengan kata lain: filsafat adalah ilmu yang mempelajari dengan sungguh-sungguh hakikat kebenaran segala sesuatu. Beberapa definisi kerana luasnya lingkungan pembahasan ilmu filsafat, maka tidak mustahil kalau banyak di antara para filsafat memberikan definisinya secara berbeda-beda. Coba perhatikan definisi-definisi ilmu filsafat dari filsuf barat dan timur di bawah ini:
a. Plato (427sm – 347sm) seorang filsuf yunani yang termasyhur murid socrates dan guru aristoteles, mengatakan: filsafat adalah pengetahuan tentang segala yang ada (ilmu pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran yang asli).
b. Aristoteles (384 sm – 322sm) mengatakan : filsafat adalah ilmua pengetahuan yang meliputi kebenaran, yang di dalamnya terkandung ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika (filsafat menyelidiki sebab dan asas segala benda).
c. Marcus tullius cicero (106 sm – 43sm) politikus dan ahli pidato romawi, merumuskan: filsafat adalah pengetahuan tentang sesuatu yang mahaagung dan usaha-usaha untuk mencapainya.
d. Al-farabi (meninggal 950m), filsuf muslim terbesar sebelum ibnu sina, mengatakan : filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang alam maujud dan bertujuan menyelidiki hakikat yang sebenarnya.
e. Immanuel kant (1724 -1804), yang sering disebut raksasa pikir barat, mengatakan : filsafat itu ilmu pokok dan pangkal segala pengetahuan yang mencakup di dalamnya empat persoalan, yaitu: ” apakah yang dapat kita ketahui? (dijawab oleh metafisika) ” apakah yang dapat kita kerjakan? (dijawab oleh etika) ” sampai di manakah pengharapan kita? (dijawab oleh antropologi)
f. Prof. Dr. Fuad hasan, guru besar psikologi ui, menyimpulkan: filsafat adalah suatu ikhtiar untuk berpikir radikal, artinya mulai dari radiksnya suatu gejala, dari akarnya suatu hal yang hendak dimasalahkan. Dan dengan jalan penjajakan yang radikal itu filsafat berusaha untuk sampai kepada kesimpulan-kesimpulan yang universal.
Kesimpulan setelah mempelajari rumusan-rumusan tersebut di atas dapatlah disimpulkan bahwa:
a. Filsafat adalah ‘ilmu istimewa’ yang mencoba menjawab masalah-masalah yang tidak dapat dijawab oleh ilmu pengetahuan biasa kerana masalah-masalah tersebut di luar jangkauan ilmu pengetahuan biasa.
b. Filsafat adalah hasil daya upaya manusia dengan akal budinya untuk memahami atau mendalami secara radikal dan integral serta sistematis hakikat sarwa yang ada, yaitu: ” hakikat tuhan, ” hakikat alam semesta, dan ” hakikat manusia, serta sikap manusia sebagai konsekuensi dari paham tersebut.

2. Pengertian ilmu
Ada orang yang menamakannya ilmu, ada yang menamainya ilmu pengetahuan, dan pula ada yang menyebutnya sains. Keberagaman istilah tersebut adalah suatu usaha untuk melahirkan padanan (meng-Indonesiakan) kata science yang asalnya dari bahasa Inggris. Pengertian yang terkandung dibalik kata-kata yang berbeda tersebut ternyata juga tidak kalah serba ragamnya. Keserbaragamannya bahkan kadang-kadang seolah-olah mengingkari citra ilmu pengetahuan itu sendiri yang pada dasarnya bertujuan untuk merumuskan sesuatu dengan tepat, tunggal dan tidak bias.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, terbitan Balai Pustaka, Jakarta, 2001, ilmu artinya adalah pengetahuan atau kepandaian. Dari penjelasan dan beberapa contohnya, maka yang dimaksud pengetahuan atau kepandaian tersebut tidak saja berkenaan dengan masalah keadaan alam, tapi juga termasuk “kebatinan” dan persoalan-persoalan lainnya. Sebagaimana yang sudah kita kenal mengenai beberapa macam nama ilmu, maka tampak dengan jelas bahwa cakupan ilmu sangatlah luas, misalnya ilmu ukur, ilmu bumi, ilmu dagang, ilmu hitung, ilmu silat, ilmu tauhid, ilmu mantek, ilmu batin (kebatinan), ilmu hitam, dan sebagainya.
Kata ilmu sudah digunakan masyarakat sejak ratusan tahun yang lalu. Di Indonesia, bahkan sebelum ada kata ilmu sudah dikenal kata-kata lain yang maksudnya sama, misalnya kepandaian, kecakapan, pengetahuan, ajaran, kawruh, pangrawuh, kawikihan, jnana, widya, parujnana, dan lain-lain. Sejak lebih dari seribu tahun yang lampau nenek moyang bangsa kita telah menghasilkan banyak macam ilmu, contohnya kalpasastra (ilmu farmasi), supakasastra (ilmu tataboga), jyotisa (ilmu perbintangan), wedastra (ilmu olah senjata), yudanegara atau niti (ilmu politik), wagmika (ilmu pidato), sandisutra (sexiology), dharmawidi (ilmu keadilan), dan masih banyak lagi yang lainnya.
Ilmu adalah seluruh usaha sadar untuk menyelidiki, menemukan dan meningkatkan pemahaman manusia dari berbagai segi kenyataan dalam alam manusia [1]. Segi-segi ini dibatasi agar dihasilkan rumusan-rumusan yang pasti. Ilmu memberikan kepastian dengan membatasi lingkup pandangannya, dan kepastian ilmu-ilmu diperoleh dari keterbatasannya[2].
Contoh: Ilmu Alam hanya bisa menjadi pasti setelah lapangannya dibatasi kedalam hal yang bahani (materiil saja) atau ilmu psikologi hanya bisa meramalkan perilaku manusia jika membatasi lingkup pandangannya ke dalam segi umum dari perilaku manusia yang kongkrit. Berkenaan dengan contoh ini, ilmu-ilmu alam menjawab pertanyaan tentang berapa jauhnya matahari dari bumi, atau ilmu psikologi menjawab apakah seorang pemudi sesuai untuk menjadi perawat.
Ada yang mencoba membedakan antara pengetahuan (knowledge) dan ilmu (science). Pengetahuan diartikan hanyalah sekadar “tahu”, yaitu hasil tahu dari usaha manusia untuk menjawab pertanyaan “what”, misalnya apa batu, apa gunung, apa air, dan sebagainya. Sedangkan ilmu bukan hanya sekadar dapat menjawab “apa” tetapi akan dapat menjawab “mengapa” dan “bagaimana” (why dan how)., misalnya mengapa batu banyak macamnya, mengapa gunung dapat meletus, mengapa es mengapung dalam air.

Pengetahuan dapat dikembangkan lebih lanjut menjadi ilmu apabila memenuhi tiga kriteria, yaitu obyek kajian, metoda pendekatan dan bersifat universal. Tidak selamanya fenomena yang ada di alam ini dapat dijawab dengan ilmu, atau setidaknya banyak pada awalnya ilmu tidak dapat menjawabnya. Hal tersebut disebabkan ilmu yang dimaksud dalam terminologi di sini mensyaratkan adanya fakta-fakta.
3.Perbedaan antara filsafat dan ilmu
Filsafat adalah suatu ilmu yang kajiannya tidak hanya terbatas pada fakta-fakta saja melainkan sampai jauh diluar fakta hingga batas kemampuan logika manusia. Batas kajian ilmu adalah fakta sedangkan batas kajian filsafat adalah logika atau daya pikir manusia. Ilmu menjawab pertanyaan “why” dan “how” sedangkan filsafat menjawab pertanyaan “why, why, dan why” dan seterusnya sampai jawaban paling akhir yang dapat diberikan oleh pikiran atau budi manusia (munkin juga pertanyaan-pertanyaannya terus dilakukan sampai never ending)..
Sementara ada yang berpendapat bahwa filsafat pada dasarnya bukanlah ilmu, tetapi suatu usaha manusia untuk memuaskan dirinya selagi suatu fenomena tidak / belum dapat dijelaskan secara keilmuan. Sebagai contoh dulu orang percaya bahwa orang yang sakit lantaran diganggu dedemit, meletusnya gunungapi adalah akibat dewa penguasa gunung tersebut murka dan masih banyak lagi.

2. Pengertian filsafat ilmu
Beberapa pandangan mengenai filsafat ilmu
Filsafat ilmu merupakan suatu tinjauan kritis tentang pendapat-pendapat ilmiah.
Filsafat ilmu adalah pembandingan atau pengembangan pendapat-pendapat masa lampau terhadap pendapat-pendapat masa sekarang yang didukung dengan bukti-bukti ilmiah.
Filsafat ilmu merupakan paparan dugaan dan kecenderungan yang tidak terlepas dari pemikiran para ilmuwan yang menelitinya.
Filsafat ilmu dapat dimaknai sebagai suatu disiplin, konsep, dan teori tentang ilmu yang sudah dianalisis serta diklasifikasikan.
Filsafat ilmu adalah perumusan pandangan tentang ilmu berdasarkan penelitian secara ilmiah.
5.Pengertian ilmu filsafat
Menurut Drs h. Hasbullah Bakri bahwa ilmu filsafat adalah ilmu yang menyelidiki segala sesuatu dengan mendalam mengenai ketuhanan, alam semesta dan manusia, sehingga dapat menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana hakikatnya sejauh yang dapat dicapai oleh akal manusia, dan bagaimana sikap manusia itu seharusnya setelah mencapai pengetahuan.
6.Perbedaan ilmu filsafat dan filsafat ilmu

Variasi Metode Pembelajaran

VARIASI METODE PEMBELAJARAN

A. Pendahuluan
Metode secara harfiah berarti cara. Dalam pemakaian yang umum, metode diartikan sebagai cara melakukan suatu kegiatan atau cara melakukan pekerjaan dengan menggunakan fakta dan konsep-konsep secara sistematis. Dalam dunia psikologi, metode berarti prosedur sistematis (tata cara berurutan) yang biasa digunakan untuk menyelidiki fenomena (gejala-gejala) kejiwaan. Maka metode pembelajaran artinya cara yang berisi prosedur baku untuk melaksanakan kegiatan kependidikan, khususnya kegiatan penyajian materi pelajaran kepada siswa.
Metode berasal dari bahasa Yunani, yakni metha, berarti melalui, dan hadats artinya cara, jalan, alat atau gaya. Dengan kata lain, metode artinya jalan atau cara yang harus ditempuh untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, susunan W.J.S. Poerwadarminta, bahwa metode adalah cara yang teratur dan berpikir baik-baik untuk mencapai suatu maksud. Sedangkan dalam Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer pengertian metode adalah cara kerja yang sistematis untuk mempermudah sesuatu kegiatan dalam mencapai maksudnya. Dalam metodologi pengajaran agama Islam pengertian metode adalah suatu cara (seni) dalam mengajar.
Dari beberapa pengertian tersebut di atas jelaslah bahwa metode merupakan alat yang dipergunakan untuk mencapai tujuan, maka diperlukan pengetahuan tentang tujuan itu sendiri. Perumusan tujuan yang sejelas-jelasnya merupakan persyaratan terpenting sebelum seorang guru menentukan dan memilih metode mengajar yang tepat. Untuk mencapai hasil yang diharapkan, hendaknya guru dalam menerapkan metode terlebih dahulu melihat situasi dan kondisi yang paling tepat untuk dapat diterapkannya suatu metode tertentu, agar dalam situasi dan kondisi tersebut dapat tercapai hasil proses pembelajaran dan membawa peserta didik ke arah yang sesuai dengan tujuan pendidikan. Untuk itu dalam memilih metode yang baik guru harus memperhatikan tujuh hal, yaitu: a). Sifat dari pelajaran; b). Alat-alat yang tersedia; c). Besar atau kecilnya kelas; d). Tempat dan lingkungan; e). Kesanggupan guru; f). Banyak atau sedikitnya materi; dan g). Tujuan mata pelajaran.
Metode Pendidikan Islam didasarkan pada al-Qur’an yang menyajikan berbagai metode yang sangat variatif. Metode yang terdapat dalam al-Qur’an tersebut didasarkan pada objek pendidikan. Diantara metode-metode tersebut akan dikaji dalam makalah ini.

B. Ayat-ayat Al-Qur’an tentang Metode Pendidikan Islam
1. Metode Qishah QS. Yusuf [12]: 3
نَحْنُ نَقُصُّ عَلَيْكَ أَحْسَنَ الْقَصَصِ بِمَا أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ هَـذَا الْقُرْآنَ وَإِن كُنتَ مِن قَبْلِهِ لَمِنَ الْغَافِلِينَ
“Kami menceritakan kepadamu kisah yang paling baik dengan mewahyukan al-Qur’an ini kepadamu, dan sesungguhnya kamu sebelum (Kami mewahyukan)nya adalah (termasuk) diantara orang-orang yang belum mengetahui.”
2. Arti Mufrodat
Kami menceritakan نَقُصُّ
Kisah yang paling baik أَحْسَنَ الْقَصَصِ
(Termasuk) diantara orang-orang yang belum mengetahui لَمِنَ الْغَافِلِينَ



3. Asbab al-Nuzul
Al-Hakim meriwayatkan suatu hadits yang bersumber dari Sa’ad bin Abi Waqqash bahwa setelah sekian lama turun ayat-ayat al-Qur’an kepada Nabi saw dan dibacakan kepada para sahabat, mereka berkata, “Ya Rasulullah, bagaimana jika Anda bercerita kepada kami?” Maka Allah menurunkan surat Az-Zumar ayat ke-23, yang menegaskan bahwa Allah Swt telahmenurunkan sebaik-baik cerita. ..“Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) al-Qur’anyang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanyakulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, dan menjadi tenang kulitdan hati mereka tatkala mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengankitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yangdisesatkan Allah, maka tidak ada seorangpun pemberi petunjuk baginya.”
Menurut Ibnu Abi Hatim, para sahabat masih bertanya lagi, “Ya Rasulullah,bagaimana kalau Anda mengingatkan kami?” Atas dasar permintaan itu, Allah Swt menurunkan surat al-Hadiid ayat ke 16, yang pada intinya menegaskanbahwa telah banyak ayat al-Qur’an yang diturunkan Allah swt agar merekamenundukkan diri kepada-Nya. Ayat itu selengkapnya berbunyi: “Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepadamereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telahditurunkan al-Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atasmereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara merekaadalah orang-orang yang fasiq.”
Menurut riwayat Ibnu Jarir yang bersumber dari Ibnu Abbas, dan riwayat Ibnu Marduwaih yang bersumber dari Ibnu Mas’ud, bahwa para sahabat masihterus berkata, “Ya Rasulullah, bagaimana jika Anda menceritakan sesuatukepada kami?” Atas dasar permintaan ini, maka Allah Swt menurunkan surat Yusuf ayat 3, yang menegaskan bahwa di dalam al-Qur’an terdapat kisah-kisah yang baik sebagai teladan bagi kaum Muslimin.

C. Penjelasan
Pendidikan Islam, tentunya tidak akan terlepas dari “Panduan” ajaran Islam itu sendiri yakni al-Qur’an. Dalam konsep pendidikan Islam, maka harus melihat segala sesuatunya dari sudut al-Qur’an dan as-Sunnah. Metode dalam pengajaran juga termasuk ke dalam kurikulum pendidikan. Dan pendidikan agama Islam, harus mengacu kepada al-Qur’an, tulisan ini berusaha menggali konsep dan asa pendidikan Islam khususnya menyangkut metode pengajaran yang ada dalam Al-Qur’an.
Sebagaimana dalam beberapa ayat al-Qur’an, metode memiliki kaitan yang amat luas. Thariqah atau metode yang digunakan tersebut, terkadang di dalam al-Qur’an, dilihat dari segi objeknya, sifatnya, fungsinya, akibatnya dan sebagainya. Hal ini berarti di dalam al-Qur’an terdapat perhatian yang luar biasa tinggi. Dan dengan demikian al-Qur’an lebih menunjukannya dengan isyarat-isyarat yang memungkinkan dilakukan dan dikembangkan lebih lanjut. Akan tetapi, dalam hal ini al-Qur’an tidak menunjukkan arti dari metode pendidikan secara tersurat, akan tetapi tersirat, hal ini karena memang al-Qur’an bukan ilmu pengetahuan tentang metode. Dan pemahaman sangat dituntut dalam menemukan pengertian yang macam-macam.
Dalam Bahasa Arab, kata metode diungkapkan dalam berbagai kata. Terkadang digunakan kata (الطريقة), (منهج), dan (الوصيلة). (الطريقة) berarti jalan, (المنهج) berarti system dan (الوصيلة) berarti mediator. Dengan demikian kata arab yang dekat dengan arti metode adalah (الطريقة). Kata serupa dengan kata (الطريقة) ini banyak dijumpai dalam al-Qur’an. kata (طريقة) diulang sebanyak 11 kali.
Bertolak dari pandangan tersebut, al-Qur’an menawarkan berbagai pendekatan dan metode dalam pendidikan, yakni dalam tata cara menyampaikan materi pendidikan. Metode tersebut antara lain adalah:

1. Metode kisah
Jika kita mempelajari surat Yusuf secara utuh, kita akan mendapatkan pelajaran yang sangat berharga. Ada beberapa rahasia yang perlu kita dalami ketika kita membaca surah ini. Pertama, bahwa surat Yusuf, mulai dari ayat pertama hingga ayat terakhir menceritakan secara utuh berbagai peristiwa yang dialami oleh Nabi Yusuf, baik ketika masih kecil, ketika remaja, maupun pada saat dewasa. Jika kisah-kisah para nabi yang lain diceritakan oleh al-Qur’an dalam berbagai ayat yang bertebaran di mana-mana, maka kisah Yusuf ini diceritakan secara utuh dalam satu surah.
Surah ini memuat 111 ayat. Tidak semua Nabi dikisahkan dalam al-Qur’an. Di antara 25 Nabi yang kisahnya banyak diceritakan al-Qur’an antara lain Adam, Nuh, Ibrahim, Ismail, Ishaq, Zakaria, Musa, Isa, dan Nabi Muhammad saw. Beberapa Nabi yang lain dikisahkan secara singkat dan padat. Malah ada sebagian yang hanya disebut namanya saja. Tentu saja Allah telah memilihkan beberapa kisah Nabi yang paling banyak mengandung pelajaran dan ibrah bagi kehidupan manusia yang terlahir setelah al-Qur’an diturunkan ke bumi. Keistimewaan lain, bahwa ketika Allah hendak memulai bercerita tentang nabi Yusuf, Dia memulainya dengan kalimat, “Kami menceritakan kepadamu kisah yang paling baik dengan mewahyukan al-Qur’an ini kepadamu, dan sesungguhnya kamu sebelum (Kami mewahyukan)nya adalah termasuk orang-orang yang belum mengetahui.” (QS. Yusuf: 3)
Dalam penutupnya juga disampaikan hal serupa, yaitu penegasan bahwa kisah ini merupakan kisah terbaik yang pernah ada di muka bumi. “Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al-Qur’an itu bukanlah cerita yang dibuat-buat,akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) sebelumnya dan menjelaskan segalasesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.” (Surah Yusuf: ayat 111) Kisah Nabi Yusuf diapit dua ayat yang meminta perhatian kaum muslimin. Ayat pertama memberitahukan bahwa kisah ini merupakan the best history, sedangkan ayat kedua menyampaikan bahwa di dalam kisah ini terdapat pelajaran yang sangat penting untuk dijadikan pelajaran bagi orang-orang yang berakal. Masalahnya sekarang, begitu pentingkah kisah ini sehingga Allah Swt memberikan tekanan-tekanan yang begitu hebat? Jika memang demikian, dimana letak rahasianya sehingga kita bisa mengambil pelajaran darinya?
Dua pertanyaan di atas menggoda kita untuk segera mengikuti kisah ini dari awal hingga akhirnya. Akan tetapi melalui tulisan ini dapat disimpulkan bahwa pada kisah Nabi Yusuf terdapat pergumulan hidup yang lazim terjadi pada setiap manusia dalam kehidupan sosialnya. Baik di lingkungan keluarga, masyarakat, maupun negara
Dalam keluarga, Nabi Yusuf harus rela menjadi korban kekerasan saudara-saudara kandungnya sendiri justru karena dianggap sebagai rival. Di sini ada persaingan antara saudara, iri hati, dendam, dan kekerasan sekaligus. Akibatnya Yusuf harus rela ditenggelamkan dalam perigi dalam suatu usaha pembunuhan berencana oleh saudara-saudaranya. Usaha pelenyapan ini semata-mata didasarkan suatu kepentingan, yaitu menghentikan kasih sayang sang ayah yang dalam pandangan mereka terlalu berpihak kepada Yusuf, si bungsu.
Setelah Yusuf selamat dari usaha pelenyapan ini, ia harus menjalani hidup keras sebagai pelayan dari satu majikan ke majikan yang lain. Karena keterampilan, keramahan, ditambah dengan wajahnya yang tampan, Yusuf tidak sekadar menjadi pelayan biasa, tapi pelayan yang istimewa. Terlebih ketikaia berada di lingkungan istana. Walaupun statusnya sebagai pelayan, tapi ketampanan wajahnya membuat para wanita tergila-gila kepadanya. Salah satu wanita yang tergila-gila tersebut adalah permaisuri menteri raja.
Zulaikha yang cantik selalu berusaha menggoda Yusuf dengan berbagaicara, sampai pada suatu hari, ketika Yusuf berada di suatu bilik sendirian, tiba-tiba dikejutkan oleh kedatangan Zulaikha. Apalagi setelah mengetahui bahwa si cantik itu mengunci pintu bilik. Sebagai lelaki normal, Yusuf tertarik juga pada penampilan Zulaikha yang cantik, anggun, dan tampak berkepribadian. Ketika dipaksa melayani Zulaikha, hati Yusuf juga terbakar asmara. Hanya karena pertolongan Allah saja sehingga ia tidak melakukannya. Tentang getaran hati Yusuf itu Allah menyebutnya dalam al-Qur’an: “Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusuf pun bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu andaikata dia tidak melihat tanda (dari Tuhannya). Demikianlah agar Kami memalingkan daripadanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itutermasuk hamba-hamba Kami yang terpilih.” (Surah Yusuf: 24)
Karena peristiwa ini, Yusuf harus rela dikorbankan. Meskipun berbagai bukti telah menujukkan bahwa Yusuf tidak bersalah dalam kis ini, tetapi ia harus rela dipenjarakan. Nampaknya sejak dahulu kala, penjara bukanhanya tempat bagi orang yang bersalah, tapi juga tempat orang-orang yang dipersalahkan hanya karena memegang prinsip kebenaran itu sendiri. Yusuf adalah contohnya. Sejak dahulu kala, status sosial bisa mempengaruhi sebuah keputusan pengadilan.
Ketika Yusuf menolak perintah majikannya, yaitu melayani keinginan nafsu syahwatnya, berarti ia telah memilih alternatif kedua, yaitu hukuman. Dalam hal ini penjara telah menantikan kehadirannya. Akan tetapi Yusuf tampaknya lebih menyukai penjara daripada menuruti nafsu bejat wanita tersebut. Karenanya,Yusuf berdoa kepada Allah: “Yusuf berkata, `Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripadamemenuhi ajakan mereka kepadaku. Dan jika tidak Engkau hindarkan daripadaku tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung (untuk memenuhi keinginan mereka)dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh.” (Surah Yusuf: 33)
Bagi orang seperti Yusuf, penjara bukan tempat untuk menyerahkan nasib. Penjara adalah istana tempat untuk berkontemplasi, menjalin hubungan intim dengan kekasih yang Maha kasih, yaitu Rabbul `Izzati. Di penjara ini ibadahnya semakin mantap, di samping kegiatan dakwahnya yang tidak terhenti. Kepada sesama pendakwah, Nabi Yusuf memberikan pelajaran dan dakwah Islam. Tak sedikit yang kemudian menjadi pengikut setianya. Yang baik akan tampak, yang buruk juga akan terbukti.
Siapa yang salah dan siapa pula yang benar, akhirnya sejarah membuktikan. Sejarah akan selalu berpihak kepada yang benar, walaupun kelihatannya kebenaran selalu dikalahkan. Nabi Yusuf terbukti bersih dari segala tuduhan dan akhirnya dibebaskan. Pembebasan ini sekaligus membersihkan namanya, yang sesungguhnya tak pernah tercemar. Tak hanya itu, Yusuf langsung diangkat sebagai menteri yang memiliki kekuasaan sangat besar. Tentang hal ini Allah Swt mengungkapkannya: “Dan demikianlah Kami memberi kedudukan kepada Yusuf di negeri Mesir; (dia berkuasa penuh) pergi menuju ke mana saja ia kehendaki di bumi Mesir itu. Kami melimpahkan rahmat Kami kepada siapa yang kami kehendaki dan kami tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik.” (Surah Yusuf: 56)
Alangkah banyaknya tokoh yang sebelum sampai di puncak kekuasaannya terlebih dahulu harus melewati masa-masa kritis sebagaimana yang dialami oleh Nabi Yusuf. Hanya orang-orang bodoh saja yang menyia-nyiakan kesempatan ketika di penjara. Penjara bukan akhir dari segala-galanya. Suatu saat Allah membalikkan keadaan. Yang semula di penjara bisa jadi tinggal di istana. Sebaliknya, yang asalnya di istana terpaksa harus betah di penjara. Inilah isi dunia. Pergumulan hidup selalu melingkar pada tiga hal, yaitu kriminalitas, seksual, dan perang atau kekuasaan. Itulah yang selalu menarik dan menjadi perhatian seluruh manusia. Film menjadi laris, televisi banyak diminati rakyat, dan radio digemari karena selalu mengemasi ketiga berita di atas. Dan itu semua telah diceritakan Allah dalam al-Qur’an dengan mengambil kisah Nabi Yusuf.
Cerita ataupun kisah sebagaimana tersebut di atas bisa dijadikan metode pendidikan. Allah menggunakan berbagai cerita; cerita sejarah faktual yang menampilkan suatu tokoh kehidupan manusia yang dimaksudkan agar manusia bisa berfikir dan mengambil pelajaran dari kisah tersebut.




Fungsi cerita dalam Al-Qur'an:
a. Sebagai media berfikir manusia
b. Sebagai informasi sejarah agar manusia tahu tentang peristiwa masa lalu, tabiat manusia, peradaban yang pernah dibangun pada zamannya sehingga manusia dapat mengambil pelajaran padanya.
c. Cerita sebagai berita tentang suatu hal yang akan terjadi, seperti deskripsi tentang hari kiamat.
d. Cerita sebagai penjelasan terhadap sesuatu yang ghaib, seperti cerita Malaikat pencabut nyawa (QS. Az-Zariat).
e. Cerita sebagai pendidikan akal ilmiah
f. Cerita sebagai pendidikan moral dan sebagai tolak ukur sebuah norma sosial.
g. Cerita sebagai pelajaran.
h. Cerita sebagai kabar gembira dan peringatan.
2. Metode Perumpamaan (Amtsal)
وَضَرَبَ اللّهُ مَثَلاً رَّجُلَيْنِ أَحَدُهُمَا أَبْكَمُ لاَ يَقْدِرُ عَلَىَ شَيْءٍ وَهُوَ كَلٌّ عَلَى مَوْلاهُ أَيْنَمَا يُوَجِّههُّ لاَ يَأْتِ بِخَيْرٍ هَلْ يَسْتَوِي هُوَ وَمَن يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَهُوَ عَلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ

Dan Allah membuat (pula) perumpamaan: dua orang lelaki yang seorang bisu, tidak dapat berbuat sesuatupun dan dia menjadi beban atas penanggungnya, ke mana saja dia disuruh oleh penanggungnya itu, dia tidak dapat mendatangkan suatu kebajikanpun. Samakah orang itu dengan orang yang menyuruh berbuat keadilan, dan dia berada pula di atas jalan yang lurus? (QS. An-Nahl [16]: 76)

Ayat ini menjelaskan tentang seorang laki-laki bisu (orang bodoh) yang hidupnya hanya menjadi beban bagi orang lain dan tidak memberi manfaat apapun bagi manusia sekitarnya, orang tersebut tentu saja berbeda dengan orang yang selalu menyuruh berbuat keadilan (orang alim). Ayat ini merupakan perumpamaan perbedaan fungsi antara orang bodoh dan orang yang alim yang selalu memberikan kebajikan kepada orang lain.
Perumpamaan dilakukan oleh Allah SWT. sebagai salah satu metode pembelajaran untuk memberikan pemahaman kepada obyek sasaran materi pendidikan semudah mungkin, sehingga kandungan maksud dari suatu materi pelajaran dapat dicerna dengan baik, metode ini dilakukan dengan cara menyerupakan sesuatu dengan sesuatu yang lain, mendekatkan sesuatu yang abstrak dengan yang lebih konkrit.
Perumpamaan yang digunakan oleh Allah SWT. sebagai salah satu metode pembelajaran selalu syarat dengan makna sehinga benar-benar dapat membawa sesuatu yang abstrak kepada yang konkrit atau menjadikan sesuatu yang masih samar dalam makna menjadi sesuatu yang sangat jelas.
Menurut Najib Khalid Al-Amin (1994: 139-141), fungsi dari perumpamaan adalah:
a. Memberikan ilustrasi
b. Menginformasikan segi poisitif agar menarik minata atau menginformasikan yang negatif agar menjaujinya.
c. Menjamkan nalar dan mendinamiskan potensi berikir atau meningkatkan kecerdasan.


DAFTAR PUSTAKA


Abuddin Nata, 2001, Filsafat Pendidikan Islam. Logos. Jakarta
Direktorat Kelembagaan Agama Islam. 1979, Metodologi Pendidikan Dalam Islam. Jakara.
Mulyanto Sumardi, 1997, Pengajaran Bahasa Asing, Jakarta: Bulan Bintang
Muzayyin Arifin, 1987 Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Buna Aksara
Najib Khalid Al-Amin, 1994, Tarbiyah Rasulullah. Gema Insani Press. Jakarta.
Naquib al-Attas, 1988. Konsep Pendidikan dalam Islam. Bandung: Mizan
Nur Uhbiyati dan Abu Ahmadi. 1997, Ilmu Pendidikan Islam. Bandung: Pustaka Setia.
Peter Salim, et-al, 1991, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, Jakarta: Modern English
Qurais Shihab, 2004, Wawasan Al-Qur’an, Bandung: Mizan
Ramayulis, 2001, Metodologi Pengajaran Agama Islam, Jakarta: Kalam Mulya
Usman Said dan Jalaludin. 1999, Filsafat Pendidikan Islam. Grafindo Persada. Jakarta
W.J.S. Poerwadarminta, 1986, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka.

Pranata Islam

Pranata Islam

A. Pendahuluan

Pranata merupakan istilah sosiologi yang sering dihubungkan dengan kata sosial. Oleh karena itu, dalam pembahasan sosiologi pranata selalu disebut istilah pranata sosial. Paranata sosial berasal dari istilah bahasa Inggris institution. Istilah-istilah lain pranata sosial ialah lembaga dan bangunan sosial. Walaupun istilah yang digunakan berbeda-beda, tetapi institution menunjuk pada unsur-unsur yang mengatur perilaku anggota masyarakat.

Pranata juga berasal dari bahasa Latin instituere yang berarti mendirikan. Kata bendanya adalah institution yang berarti pendirian. Dalam bahasa Indonesia institution diartikan institusi (pranata) dan institut (lembaga). Institusi adalah sistem norma atau aturan yang ada. Institut adalah wujud nyata dari norma-norma.

Pranata adalah seperangkat aturan yang berkisar pada kegiatan atau kebutuhan tertentu. Pranata termasuk kebutuhan sosial. Seperangkat aturan yang terdapat dalam pranata termasuk kebutuhan sosial yang berpedoman kebudayaan. Pranata merupakan seperangkat aturan, bersifat abstrak. Menurut Koentjaraningrat, istilah pranata dan lembaga sering dikacaukan pengertiannya. Sama halnya dengan istilah institution dengan istilah institute. Padahal kedua istilah itu memiliki makna yang berbeda.

Menurut Horton dan Hunt (1987), pranata sosial adalah suatu sistem norma untuk mencapai suatu tujuan atau kegiatan yang oleh masyarakat dipandang penting. Dengan kata lain, pranata sosial adalah sistem hubungan sosial yang terorganisir yang mengejawantahkan nilai-nilai serta prosedur umum yang mengatur dan memenuhi kegiatan pokok warga masyarakat. Oleh karena itu, ada tiga kata kunci di dalam setiap pembahasan mengenai pranata sosial yaitu: a). Nilai dan norma; b). Pola perilaku yang dibakukan atau yang disebut prosedur umum; dan c). Sistem hubungan, yakni jaringan peran serta status yang menjadi wahana untuk melaksanakan perilaku sesuai dengan prosedur umum yang berlaku.

Menurut Koentjaraningrat (1979) yang dimaksud dengan pranata-pranata sosial adalah sistem-sistem yang menjadi wahana yang memungkinkan warga masyarakat itu untuk memenuhi kompleks-kompleks kebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat. Pranata sosial pada hakikatnya bukan merupakan sesuatu yang bersifat empirik, karena sesuatu yang empirik unsur-unsur yang terdapat didalamnya selalu dapat dilihat dan diamati. Sedangkan pada pranata sosial unsur-unsur yang ada tidak semuanya mempunyai perwujudan fisik. Pranata sosial adalah sesuatu yang bersifat konsepsional, artinya bahwa eksistensinya hanya dapat ditangkap dan dipahami melalui sarana pikir, dan hanya dapat dibayangkan dalam imajinasi sebagai suatu konsep atau konstruksi pikir.

Unsur-unsur dalam pranata sosial bukanlah individu-individu manusianya itu, akan tetapi kedudukan-kedudukan yang ditempati oleh para individu itu beserta aturan tingkah lakunya. Dengan demikian pranata sosial merupakan bangunan atau konstruksi dari seperangkat peranan-peranan dan aturan-aturan tingkah laku yang terorganisir. Aturan tingkah laku tersebut dalam kajian sosiologi sering disebut dengan istilah “norma-norma sosial”.

Herkovits, mengatakan bahwa pranata sosial itu tidak lain adalah wujud dari respon-respon yang diformulasikan dan disistematisasikan dari segala kebutuhan hidup (1952: 229 dalam Harsojo, 1967 : 157). Hetzler (1929 : 67/68 dalam Harsojo, 1967 : 157) secara lebih rinci mendefinisikan pranata sosial itu sebagai satu konsep yang kompleks dan sikap-sikap yang berhubungan dengan pengaturan hubungan antara manusia tertentu yang tidak dapat dielakkan, yang timbul karena dipenuhinya kebutuhan-kebutuhan elementer individual, kebutuhan-kebutuhan social yang wajib atau dipenuhinya tujuan-tujuan sosial penting. Konsep-konsep itu berbentuk keharusan-keharusan dan kebiasaan, tradisi, dan peraturan. Secara individual paranta sosial itu mengambil bentuk berupa satu kebiasaan yang dikondisikan oleh individu di dalam kelompok, dan secara sosial pranata sosial itu merupakan suatu struktur. Kemudian Elwood (1925 : 90-91 dalam Harsojo, 1967 : 157), pranata sosial itu dapat juga dikatakan sebagai satu adat kebiasaan dalam kehidupan bersama yang mempunyai sanksi, yang disistematisasikan dan dibentuk oleh kewibawaan masyarakat. Pranata sosial yang penting adalah hak milik, perkawinan, religi, sistem hukum, sistem kekerabatan, dan edukasi (harsojo, 1967: 158).

Berdasarkan penjelasan di atas, maka pranata Islam dapat juga diartikan sebagai aturan-aturan atau norma-norma yang berkaitan dengan ajaran Islam, seperti shalat, zakat, Haji, dan kegiatan-kegiatan muamalah seperti perdagangan, perbankan dan lain-lain.

B. Pranata Islam

  1. Shalat

Berdasarkan berbagai keterangan dalam Kitab Suci dan Hadits Nabi, dapatlah dikatakan bahwa shalat adalah kewajiban peribadatan (formal) yang paling penting dalam sistem keagamaan Islam. Kitab Suci banyak memuat perintah agar kita menegakkan shalat (iqamat al-shalah, yakni menjalankannya dengan penuh kesungguhan), dan menggambarkan bahwa kebahagiaan kaum beriman adalah pertama-tama karena shalatnya yang dilakukan dengan penuh kekhusyukan.[1] Sebuah hadits Nabi saw. menegaskan, "Yang pertama kali akan diperhitungkan tentang seorang hamba pada hari Kiamat ialah shalat: jika baik, maka baik pulalah seluruh amalnya; dan jika rusak, maka rusak pulalah seluruh amalnya." [2] Dan sabda beliau lagi, "Pangkal segala perkara ialah al-Islam (sikap pasrah kepada Allah), tiang penyangganya shalat, dan puncak tertingginya ialah perjuangan di jalan Allah."[3]

Karena demikian banyaknya penegasan-penegasan tentang pentingnya shalat yang kita dapatkan dalam sumber-sumber agama, tentu sepatutnya kita memahami makna shalat itu sebaik mungkin. Berdasarkan berbagai penegasan itu, dapat ditarik kesimpulan bahwa agaknya shalat merupakan "kapsul" keseluruhan ajaran dan tujuan agama, yang di dalamnya termuat ekstrak atau sari pati semua bahan ajaran dan tujuan keagamaan. Dalam shalat itu kita mendapatkan keinsyafan akan tujuan akhir hidup kita, yaitu penghambaan diri ('ibadah) kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa, dan melalui shalat itu kita memperoleh pendidikan pengikatan pribadi atau komitmen kepada nilai-nilai hidup yang luhur. Dalam perkataan lain, nampak pada kita bahwa shalat mempunyai dua makna sekaligus: makna intrinsik, sebagai tujuan pada dirinya sendiri dan makna instrumental, sebagai sarana pendidikan ke arah nilai-nilai luhur.

Makna Intrinsik Shalat

Kedua makna tersebut di atas, baik yang intrinsik maupun yang instrumental, dilambangkan dalam keseluruhan shalat, baik dalam unsur bacaannya maupun tingkah lakunya. Secara Ilmu Fiqih, shalat dirumuskan sebagai "Ibadah kepada Allah dan pengagungan-Nya dengan bacaan-bacaan dan tindakan-tindakan tertentu yang dibuka dengan takbir (Allahu Akbar) dan ditutup dengan taslim (al-salam-u 'alaykam wa rahmatu-'l-Lah-i wa barakatah), dengan runtutan dan tertib tertentu yang diterapkan oleh agama Islam."[4]

Takbir pembukaan shalat itu dinamakan "takbir ihram" (takbirat al-ihram), yang mengandung arti "takbir yang mengharamkan", yakni, mengharamkan segala tindakan dan tingkah laku yang tidak ada kaitannya dengan shalat sebagai peristiwa menghadap Tuhan. Takbir pembukaan itu seakan suatu pernyataan formal seseorang membuka hubungan diri dengan Tuhan (habl-un min-a 'l-Lah), dan mengharamkan atau memutuskan diri dari semua bentuk hubungan dengan sesama manusia (habl-un min al-nas-"hablum minannas"). Maka makna intrinsik shalat diisyaratkan dalam arti simbolik takbir pembukaan itu, yang melambangkan hubungan dengan Allah dan menghambakan diri kepada-Nya. Jika disebutkan bahwa tujuan penciptaan jin dan manusia oleh Allah agar mereka menghamba kepada-Nya, maka wujud simbolik terpenting penghambaan itu ialah shalat yang dibuka dengan takbir tersebut, sebagai ucapan pernyataan dimulainya sikap menghadap Allah.

Sikap menghadap Allah itu kemudian dianjurkan untuk dikukuhkan dengan membaca doa pembukaan (du'a al-iftitah), yaitu bacaan yang artinya, "Sesungguhnya aku menghadapkan wajahku kepada Dia yang telah menciptakan seluruh langit dan bumi, secara hanif (kecenderungan suci kepada kebaikan dan kebenaran) lagi muslim (pasrah kepada Allah, Yang Maha Baik dan Benar itu), dan aku tidaklah termasuk mereka yang melakukan syirik."[5]

Lalu dilanjutkan dengan seruan, "Sesungguhnya shalatku, darma baktiku, hidupku dan matiku untuk Allah Penjaga seluruh alam raya; tiada sekutu bagi-Nya. Begitulah aku diperintahkan, dan aku termasuk mereka yang pasrah (muslim)."[6] Jadi, dalam shalat itu seseorang diharapkan hanya melakukan hubungan vertikal dengan Allah, dan tidak diperkenankan melakukan hubungan horizontal dengan sesama makhluk (kecuali dalam keadaan terpaksa). Inilah ide dasar dalam takbir pembukaan sebagai takbirat al-ihram. Karena itu, dalam literatur kesufian berbahasa Jawa, shalat atau sembah yang dipandang sebagai "mati sajeroning hurip" (mati dalam hidup), karena memang kematian adalah panutan hubungan horizontal sesama manusia guna memasuki alam akhirat yang merupakan "hari pembalasan" tanpa hubungan horizotal seperti pembelaan, perantaraan, ataupun tolong-menolong.[7]

Selanjutnya dia yang sedang melakukan shalat hendaknya menyadari sedalam-dalamnya akan posisinya sebagai seorang makhluk yang sedang menghadap Khaliknya, dengan penuh keharuan, kesyahduan dan kekhusyukan. Sedapat mungkin ia menghayati kehadirannya di hadapan Sang Maha Pencipta itu sedemikian rupa sehingga ia "seolah-olah melihat Khaliknya"; dan kalau pun ia tidak dapat melihat-Nya, ia harus menginsyafi sedalam-dalamnya bahwa "Khaliknya melihat dia", sesuai dengan makna ihsan seperti dijelaskan Nabi saw dalam sebuah hadits.[8] Karena merupakan peristiwa menghadap Tuhan, shalat juga sering dilukiskan sebagai mi'raj seorang mukmin, dalam analogi dengan mi'raj Nabi saw yang menghadap Allah secara langsung di Sidrat al-Muntaha.

Dengan ihsan itu orang yang melakukan shalat menemukan salah satu makna yang amat penting ibaratnya, yaitu penginsyafan diri akan adanya Tuhan Yang Maha Hadir (omnipresent), sejalan dengan berbagai penegasan dalam Kitab Suci, seperti, misalnya: "Dia (Allah) itu beserta kamu di manapun kamu berada, dan Allah Maha teliti akan segala sesuatu yang kamu kerjakan."[9] Bahwa shalat disyariatkan agar manusia senantiasa memelihara hubungan dengan Allah dalam wujud keinsyafan sedalam-dalamnya akan ke-Maha-Hadiran-Nya, ditegaskan, misalnya, dalam perintah kepada Nabi Musa as. saat ia berjumpa dengan Allah di Sinai: "Sesungguhnya Aku adalah Allah, tiada Tuhan selain Aku. Maka sembahlah olehmu akan Daku, dan tegakkanlah shalat untuk mengingat-Ku!"[10] Dan ingat kepada Allah yang dapat berarti kelestarian hubungan yang dekat dengan Allah adalah juga berarti menginsyafkan diri sendiri akan makna terakhir hidup di dunia ini, yaitu bahwa "Sesungguhnya kita berasal dari Allah, dan kita akan kembali kepada-Nya". [11]

  1. Puasa

Dari berbagai ibadah dalam Islam, puasa di bulan Ramadhan barangkali merupakan ibadat wajib yang paling mendalam bekasnya pada jiwa seorang Muslim. Pengalaman selama sebulan dengan berbagai kegiatan yang menyertainya seperti berbuka, tarawih dan makan sahur senantiasa membentuk unsur kenangan yang mendalam akan masa kanak-kanak di hati seorang Muslim. Maka ibadah puasa merupakan bagian dari pembentuk jiwa keagamaan seorang Muslim, dan menjadi sarana pendidikannya di waktu kecil dan seumur hidup. Semua bangsa Muslim menampilkan corak keruhanian yang sama selama berlangsungnya puasa, dengan beberapa variasi tertentu dari satu ke lainnya.

Puasa, Kesucian dan Tanggung Jawab Pribadi

Sebuah Hadits menuturkan tentang adanya firman Tuhan (dalam bentuk Hadits Qudsi): "Semua amal seorang anak Adam (manusia) adalah untuk dirinya kecuali puasa, sebab puasa itu adalah untuk-Ku, dan Aku-lah yang akan memberinya pahala."[12] Berkaitan dengan ini Ibn al-Qayyim al-Jawzi memberi penjelasan bahwa puasa itu

... adalah untuk Tuhan seru sekalian Alam, berbeda dari amal-amal yang lain. Sebab seseorang yang berpuasa tidak melakukan sesuatu apa pun melainkan meninggalkan syahwatnya, makanannya dan minumannya demi Sesembahannya (Ma'bududu, yakni,Tuhan). Orang itu meninggalkan segala kesenangan dan kenikmatan dirinya karena lebih mengutamakan cinta Allah dan ridla-Nya. Puasa itu rahasia antara seorang hamba dan Tuhannya, yang orang lain tidak mampu melongoknya. Sesama hamba mungkin dapat melihat seseorang yang berpuasa meninggalkan segala sesuatu yang membatalkan makan, minum, dan syahwatnya demi Sesembahannya, maka hal itu merupakan perkara yang tidak dapat diketahui sesama manusia. Itulah hakikat puasa.[13]

Jadi salah satu hakikat ibadah puasa ialah sifatnya yang pribadi atau personal, bahkan merupakan rahasia antara seorang manusia dengan Tuhannya. Dan segi kerahasiaan itu merupakan letak seorang manusia dengan Tuhannya. Dan segi kerahasiaan itu merupakan letak dan sumber hikmahnya, yang kerahasiaan itu sendiri terkait erat dengan makna keikhlasan dan ketulusan. Antara puasa yang sejati dan puasa yang palsu hanyalah dibedakan oleh, misalnya, seteguk air yang dicuri minum oleh seseorang ketika ia berada sendirian.

Puasa benar-benar merupakan latihan dan ujian kesadaran akan adanya Tuhan yang Maha Hadir (Ompnipresent), dan yang mutlak tidak pernah lengah sedikitpun dalam pengawasan-Nya terhadap segala tingkah laku hamba-hamba-Nya. Puasa adalah penghayatan nyata akan makna firman bahwa "Dia (Allah) itu bersama kamu dimana pun kamu berada, dan Allah itu Maha Periksa akan segala sesuatu yang kamu perbuat."[14] "Kepunyaan Allah-lah timur dan barat; maka ke mana pun kamu menghadap, di sanalah Wajah Allah."[15] "Sungguh Kami (Allah) telah menciptakan manusia, dan Kami mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya sendiri."[16] "Ketahuilah olehmu sekalian bahwa Allah menyekat antara seseorang dan hatinya sendiri..."[17]

Puasa dan Tanggungjawab Kemasyarakatan

Sebegitu jauh kita telah mencoga melihat hikmah ibadah puasa sebagai sarana pendidikan Ilahi untak menanamkan tanggungjawab pribadi. Tetapi justru pengertian "tanggungjawab" itu sendiri mengisyaratkan adanya aspek sosial dalam perwujudan pada kehidupan nyata di dunia ini. Dan sesungguhnya tanggungjawab sosial adalah sisi lain dari mata uang logam yang sama, yang sisi pertamanya ialah tanggungjawab pribadi. Ini berarti bahwa dalam kenyataannya kedua jenis tanggungjawab itu tidak bisa dipisahkan, sehingga tiadanya salah satu dari keduanya akan mengakibatkan peniadaan yang lain.

Oleh karena itu para ulama senantiasa menekankan bahwa salah satu hikmah ibadah puasa ialah penanaman rasa solidaritas sosial. Dengan mudah hal itu dibuktikan dalam kenyataan bahwa ibadah puasa selalu disertai dengan anjuran untuk berbuat baik sebanyak-banyaknya, terutama perbuatan baik dalam bentuk tindakan menolong meringankan beban kaum fakir miskin, yaitu zakat, sedekah, infaq, dll.

Dari sudut pandangan itulah kita harus melihat kewajiban membayar zakat fitrah pada bulan Ramadhan, terutama menjelang akhir bulan suci itu. Seperti diketahui, fithrah merupakan konsep kesucian asal pribadi manusia, yang memandang bahwa setiap individu dilahirkan dalam keadaan suci bersih. Karena itu zakat fitrah merupakan kewajiban pribadi berdasarkan kesucian asalnya, namun memiliki konsekuensi sosial yang sangat langsung dan jelas. Sebab, seperti halnya dengan setiap zakat atau "sedekah" (shadaqah, secara etimologis berarti "tindakan kebenaran") pertama-tama dan terutama diperuntukkan bagi golongan fakir-miskin serta mereka yang berada dalam kesulitan hidup seperti al-riqab (mereka yang terbelenggu, yakni, para budak; dalam istilah modern dapat berarti mereka yang terkungkung oleh "kemiskinan struktural") dan al-gharimun (mereka yang terbeban berat hutang), serta ibn al-sabil (orang yang terlantar dalam perjalanan), demi usaha ikut meringankan beban hidup mereka. Sasaran zakat yang lain pun masih berkaitan dengan kriteria bahwa zakat adalah untuk kepentingan umum atau sosial, seperti sasaran amil atau panitia zakat sendiri, kaum mu'allaf, dan sabil-Allah ("sabilillah", jalan Allah), kepentingan masyarakat dalam artian yang seluas-luasnya.

Sebenarnya dimensi sosial dari hikmah puasa ini sudah dapat ditarik dan difahami dari tujuannya sendiri dalam Kitab Suci, yaitu taqwa. Dalam memberi penjelasan tentang taqwa sebagai tujuan puasa itu, Syeikh Muhammad 'Abduh menunjuk adanya kenyataan bahwa orang-orang kafir penyembah berhala melakukan puasa (menurut cara mereka masing-masing) dengan tujuan utama "membujuk" dewa-dewa agar jangan marah kepada mereka atau agar senang kepada mereka dan "memihak" mereka dalam urusan hidup mereka di dunia ini. Ini sejalan dengan kepercayaan mereka bahwa dewa-dewa itu akan mudah dibujuk dengan jalan penyiksaan diri sendiri dan tindakan mematikan hasrat jasmani.

Cara pandang kaum musyrik dalam berpuasa berbeda dengan ajaran agama Tawhid yang mengajarkan manusia untuk tunduk-patuh dan pasrah sepenuhnya (Islam kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dalam agama ini diajarkan bahwa Tuhan tidaklah didekati dengan sesajen seperti pada kaum pagan atau musyrik, melainkan dengan amal perbuatan yang baik, yang membawa manfaat dan faedah kepada diri sendiri dan kepada sesama manusia dalam masyarakat: "Maka barangsiapa ingin berjumpa dengan Tuhannya, hendaknyalah ia berbuat baik, dan janganlah dalam berbakti kepada Tuhannya itu ia memperserikatkan-Nya dengan seseorang siapapun juga."[18]

Ibadah puasa selama sebulan itu diakhiri dengan Hari Raya Lebaran atau Idul Fitri (Id-al-fithr, "Siklus Fitrah"), yang menggambarkan tentang saat kembalinya fitrah atau kesucian asal manusia setelah hilang karena dosa selama setahun, dan setelah pensucian diri dosa itu melalui puasa. Dalam praktek yang melembaga dan mapan sebagai adat kita semua, manifestasi dari Lebaran itu ialah sikap-sikap dan perilaku kemanusiaan yang setulus-tulusnya dan setinggi-tingginya. Dimulai dengan pembayaran zakat fitrah yang dibagikan kepada fakir miskin, diteruskan dengan bertemu sesama anggota umat dalam perjumpaan besar pada shalat Id, kemudian dikembangkan dalam kebiasaan terpuji bersilaturahmi kepada sanak kerabat dan teman sejawat, keseluruhan manifestasi Lebaran itu menggambarkan dengan jelas aspek sosial dari hasil ibadah puasa. Adalah bersyukur atas nikmat-karunia yang merupakan hidayah Allah kepada kita itu maka pada hari Lebaran kita dianjurkan untuk memperlihatkan kebahagiaan dan kegembiraan kita. Petunjuk Nabi dalam berbagai Hadits mengarahkan agar pada hari Lebaran tidak seorang pun tertinggal dalam bergembira dan berbahagia, tanpa berlebihan dan melewati batas.

Karena itu zakat fitrah sebenarnya lebih banyak merupakan peringatan simbolik tentang kewajiban atas anggota masyarakat untuk berbagi kebahagiaan dengan kaum yang kurang beruntung, yang terdiri dari para fakir miskin. Dari segi jumlah dan jenis materialnya sendiri, zakat fitrah mungkin tidaklah begitu berarti. Tetapi, sama dengan ibadah korban yang telah disinggung di atas, yang lebih asasi dalam zakat fitrah ialah maknanya sebagai lambang solidaritas sosial dan rasa perikemanusiaan. Dengan perkataan lain, zakat fitrah adalah lambang tanggung-jawab kemasyarakatan kita yang merupakan salah satu hasil pendidikan ibadah puasa, dan yang kita menifestasikan secara spontan.

Tetapi, sebagai simbol dan lambang, zakat fitrah harus diberi substansi lebih lanjut dan lebih besar dalam seluruh aspek hidup kita sepanjang tahun, berupa komitmen batin serta usaha mewujudkan masyarakat yang sebaik-baiknya, yang berintikan nilai Keadilan Sosial. Inilah antara lain makna firman Allah berkenaan dengan Hari Raya Lebaran: Hendaknya kamu sekalian sempurnakan hitungan (hari berpuasa sebulan) itu, dan hendaknya pula kamu bertakbir mengagungkan Allah atas karunia hidayah dan diberikan oleh-Nya kepadamu sekalian, dan agar supaya kamu sekalian bersyukur.[19]

  1. Zakat

Zakat adalah merupakan salah satu ajaran pokok dalam agama Islam yang adalah merupakan pemberian wajib yang dikenakan pada kekayaan seseorang yang beragama islam yang telah terakumulasi nisab dan haul dari hasil perdagangan, pertanian, hewan ternak, emas dan perak, berbagai bentuk hasil pekerjaan/profesi/investasi/saham dan lain sebagainya.

Selain Zakat, dikenal juga istilah infaq dan shadaqah, hanya saja sifatnya bukan merupakan pemberian wajib, tetapi pemberian yang bersifat sangat dianjurkan (sunnat) bagi mereka yang bercukupan. Infaq adalah harta yang dikeluarkan oleh seseorang atau badan di luar zakat, untuk kemaslahatan ummat. Sedangkan Shadaqah ialah harta yang dikeluarkan seorang muslim di luar zakat untuk kemaslahatan umum.

Zakat, Infaq dan Shadaqah (ZIS) adalah merupakan asset berharga ummat Islam sebab berfungsi sebagai sumber dana potensial yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahateraan seluruh masyarakat. Para pakar dibidang hukum Islam menyatakan bahwa, ZIS dapat komplementer dengan pembangunan nasional, karena dana ZIS dapat dipergunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat khususnya dalam bidang pengentasan kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan serta mengurangi jurang pemisah antara si kaya dengan si miskin sekaligus meningkatkan perekonomian pedagang kecil yang selalu tertindas oleh pengusaha besar dan mengentaskan berbagai persoalan yang berkaitan dengan sosial kemasyarakatan dan sosial keagamaan.

Persoalannya sekarang adalah fungsi dan peranan zakat yang begitu besar dalam ajaran agama Islam tidak sebanding dengan perhatian dan pelaksanaannya dari ummat Islam. Dari lima kewajiban pokok yang tercantum dalam Rukun Islam, Zakat adalah merupakan semacam “anak tiri” bila dibandingkan dengan Rukun Islam yang lainnya, padahal kedudukannya adalah sama dalam ajaran agama Islam sebab sama-sama Rukun atau Tiang Penyangga Utama. Malah sebenarnya Zakat mempunyai kelebihan apabila dibandingkan dengan keempat Rukun Islam lainnya, sebab zakat selain bedimensi ubudiyah juga berdimensi sosial kemasyarakatan secara langsung dalam bentuk material, sedangkan keempat Rukun Islam lainnya hanya berdimensi ubudiyah dan kalaupun berdimensi sosial tetapi tidak secara langsung sebagaimana halnya zakat.

Agar upaya yang dimaksud dapat dicapai sebagaimana mestinya maka diperlukan adanya pengelolaan ZIS secara profesional dengan menggunakan manajemen modern serta dengan melibatkan para pakar di bidangnya, di tambah dengan dukungan pemerintah yang intensif baik yang bersifat moril berupa kebijaksanaan-kebijaksanaan maupun yang bersifat materil dalam bentuk penyediaan dana operasional dan administratif.

Dasar Hukum Zakat

Adapun dasar hukum yang menjadi landasan dalam pengelolaan zakat terdapat dalam al-Qur’an, al-Hadist dan peraturan perundang-undangan yang berlaku antara lain:

  1. Kewajiban membayar zakat, tercantum dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 110, yang artinya: “Dan dirikanlah sholat dan tunaikanlah zakat. Dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahalanya pada sisi Allah. Sesungguhnya Allah Maha Melihat apa-apa yang kamu kerjakan”.
  2. Kewajiban memungut zakat, tercantum dalam Al-Qur’an Surat At-Taubah ayat 103, yang artinya: “Ambillah zakat dari sebaagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan mendo’alah untuk mereka, sesungguhnya do’a kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.
  3. Ketentuan kepada siapa zakat itu diwajibkan dan apa-apa saja yang wajib dikeluarkan zakatnya, tercantum dalam Al-Qur’an Surat Al Baqarah ayat 267, yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di Jalan Allah) sebahagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebahagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji”.
  4. Tetang siapa saja yang berhak menrima zakat, tercantum dalam Al-Qu’an surat At-Taubah ayat 60, yang artinya: “Sesungguhnya zakat-zakat uitu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk Jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.
  5. Fadhilah menafkahkan harta di jalan Allah terdapat dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 261, yang artinya: “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, adalah serupa dengan sebutir beni yang menumbuhkan tujuh butir, pada tiap-tiap butir : seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (kurniaNya) lagi Maha Mengetahui”.

  1. Haji

Secara etimologi, haji berarti menyengaja pergi menuju tempat yang diagungkan. Secara terminologis berarti beribadah kepada Allah dengan melaksanakan manasik haji, yaitu perbuatan tertentu yang dilakukan pada waktu dan tempat tertentu dengan cara yang tertentu pula. Definisi ini disepakati oleh seluruh mazhab.

Haji hukumnya fardu bagi lelaki dan wanita sekali seumur hidup.

Firman Allah SWT Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup melakukan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.[20]

Dalam hadits lain, Rasulullah saw. bersabda: “Wahai manusia! Sesungguhnya telah difardlukan kepadamu haji, oleh sebab itu berhajilah” Kemudian seorang laki-laki berdiri dan bertanya, “Wahai Rasulullah apakah setiap tahun?” Rasulullah Saw diam sampai pertanyaan tersebut diulang sampai tiga kali. Kemudian beliau bersabda, “Kalau aku jawab (ya), maka akan wajib dan kamu sekalian tidak akan mampu melaksanakannya”.

Umat Islam sepakat bahwa haji adalah rukun Islam yang ke lima, hukumnya adalah fardu. Menurut mayoritas ulama, fardunya tidak bersifat segera, tetapi dapat ditunda dari awal waktu mampu melaksanakannya.

Syarat-syarat haji

1. Islam, haji tidak wajib bagi orang kafir, hajinya tidak sah.

2. Merdeka, tidak wajib haji bagi budak.

3. Taklif (sudah mukallaf, yaitu berkewajiban melaksanakan syariat)

4. Kemampuan, dengan syarat sebagai berikut:

a. Ada perbekalan, makanan dan lain-lain untuk pergi dan pulang.

b. Ada kendaraan

c. Perbekalan yang dibawa harus kelebihan dari pembayaran hutang dan biaya keluarga yang ditinggalkan di rumah.

5. Dengan kendaraan yang sudah jelas bahwa tidak akan mengalami kesulitan.

6. Perjalanan aman.

Wajib Haji

Wajib adalah semua pekerjaan yang harus dilakukan, bila ditinggalkan, maka harus membayar dam (denda).

Wajib Haji 7, yaitu:

1. Ihram dari mikat

2. Wukuf di Arafah

3. Bermalam di Mazdalifah

4. Bermalam di Mina

5. Mencukur atau memotong rambut, mencukur lebih afdal

6. Melempar jumrah

7. Tawaf wada'

Seluruh mazhab sepakat tentang rukun dan wajib di dalam haji.

Rukun Haji

Rukun Haji adalah kegiatan yang harus dilakukan dalam Ibadah Haji. Jika tidak dikerjakan maka Hajinya tidak syah

Rukun Haji ada enam, yaitu:

  1. Ihram, Pernyataan mulai mengerjakan ibadah haji atau umroh dengan memakai pakaian ihram disertai niat haji atau umroh di miqat.
  2. Wukuf di Arafah, Berdiam diri dan berdoa di Arafah pada tanggal 9 Zulhijah
  3. Tawaf Ifadah Mengelilingi Ka'bah sebanyak 7 kali, dilakukan setelah melontar jumroh Aqabah pada tgl 10 Zulhijah
  4. Sa'ie berjalan atau berlari-lari kecil antara bukit Shafa dan Marwah sebanyak 7 kali, dilakukan setelah Tawaf Ifadah.
  5. Tahallul bercukur atau menggunting rambut setelah melaksanakan Sa'i
  6. Tertib, Mengerjakan kegiatan sesuai dengan urutan dan tidak ada yang tertinggal
  1. Perbankan

Konsep Bank dalam Islam (Bank syariah) adalah Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba,[21] Jual-beli boleh dilakukan dengan penyerahan tangguh,[22] Ummat Islam mengajarkan ta’awun,[23] dan menghindari iktinaz.[24] Selain itu, karena hampir semua pekerjaan muamalah adalah mubah kecuali ada dalil yang melarangnya (ushul fiqih)

Kata “bank” sebagai istilah lembaga keuangan tidak pernah disebutkan secara eksplisit dalam Al Qur’an. Namun jika yang dimaksud adalah sesuatu yang memiliki unsur-unsur seperti struktur, manajemen, fungsi, serta hak dan kewajiban, maka semua itu disebut secara jelas, seperti zakat, shadaqah, ghonimah (rampasan perang), bai’ (jual-beli), dain (hutang dagang), maal (harta) dsb, yang memiliki konotasi fungsi yang dilaksanakan oleh peran tertentu dalam kegiatan ekonomi.

Lembaga-lembaga itu pada akhirnya bertindak sebagai individu, yang dalam konteks fiqh disebut “Syakhsyiyyah al-I’tibariyyah” atau “Syakhsyiyyah al Ma’nawiyah”. Dalam hal akhlaq, Al-Qur’an menyebutkannya secara eksplisit, baik dalam kisah maupun perintah. Konsep accountability, misalnya, terletak pada ayat-ayat yang paling panjang dan berupa perintah-perintah.[25] Demikian pula konsep trust (amanah,),[26] dan keadilan.[27]

Untuk menjaga stabilitas lembaga tersebut Al-Qur’an mengajarkan tindakan tegas (amar ma’ruf nahi munkar) (QS 3: 110) dan teguran (tawsiah) dalam kebenaran dan kesabaran (QS Al Asr). Al-Qur’an juga menjelaskan perlunya struktur hierarki manajemen yang rapih untuk melakukan perjuangan mencapai tujuan lembaga sebagai manifestasi kecintaan Tuhan (QS 61: 4)

Fungsi Dasar Dari Bank

Bank syariah adalah lembaga keuangan yang didasarkan pada ajaran-ajaran Islam berdasarkan ajaran agama (ayat-ayat Al-Qur’an). Fungsi Bank syariah adalah:

1. Menyediakan tempat untuk menitipkan uang dengan aman (safe keeping function) dan

2. Menyediakan alat pembayaran untuk membeli barang dan jasa (transaction function).

Adapun tujuan pendirian Bank syariah adalah ummat Islam memerlukan perbankan bebas bunga, tidak bersifat spekulatif dan pembiayaan kegiatan usaha riil. Bank syariah didirikan untuk mempromosikan dan mengembangkan aplikasi dari prinsip-prinsip Islam, syariah dan tradisinya ke dalam transaksi keuangan dan perbankan serta bisnis lain yang terkait, dengan prinsip utama berupa: penghindaran riba, perolehan keuntungan yang sah menurut syariah dan menyuburkan zakat. Latar belakang pendirian bank syariah adalah karena Al-Qur’an melarang riba.

DAFTAR PUSTAKA

Abdulwahid, Idat, dkk. 2003. Pranata Sosial Dalam Masyarakat Sunda. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.

Abu 'Abd-Allah ibn al-Qayyim al-Jawzi, 1973, Zad al-Ma'ad fi Huda Khayr al-Ibad, Beirut: Dar al-Fikr

Adang Djumhur Salikin, Bahan Kuliah Metode Studi Islam Program Pascasarjana STAIN Cirebon

Al-Qur’an dan Tejemahnya.

Dadang Kahmad, 2000, Sosiologi Islam, Bandung: Rosda

Muhammad Mahmud al-Shawwaf, 1967, Kitab Ta'lim al-Shalah, Jeddah: al-Dar al-Su'udiyyah li al-Nasyr

Sayyid Muhammad Husayn al-Thaba'thabati, 1983, Al-Mizan fi Tafsir al-Qur'an, Beirut: Mu'assat al-A'lami

Soekanto, Soerjono. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers.


PRANATA ISLAM


Makalah

Diajukan sebagai Tugas Mandiri

Mata Kuliah: Metode Studi Islam

Dosen Pengampu: Prof. Dr. Adang Djumhur S, M.Ag

Oleh:

LELIN PARLINA DEWI

NIM. 055920013

PROGRAM PASCASARJANA

KONSENTRASI PENDIDIKAN ISLAM

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)

CIREBON

2009



[1] "Sungguh berbahagialah mereka yang beriman, yaitu mereka yang khusyuk dalam shalat mereka..." (QS. al-Mu'minun 23: 1-2).

[2] Hadits, dikutip a.l. oleh Muhammad Mahmud al-Shawwaf, Kitab Ta'lim al-Shalah (Jeddah: al-Dar al-Su'udiyyah li al-Nasyr, 1387 H/1967 M), hal. 9.

[3] Ibid.,hal. 13

[4] Ibid., hal. 24

[5] Doa pembukaan shalat ini sesungguhnya kita warisi dari kalimat Nabi Ibrahim a.s. dengan sedikit perubahan (yaitu tambahan kata-kata musliman), yang dia ucapkan sebagai kesimpulan proses pencariannya terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sekaligus pernyataan pembebasan diri dari praktek syirik kaumnya di Babilonia. (Lihat QS. al-An'am/6:79 dan penuturan di situ tentang bagaimana pengalaman pencarian Nabi Ibrahim sehingga ia "menemukan" Tuhan Yang Maha Esa, ayat 74-83).

[6] Seruan ini pun berasal dari Kitab Suci, berupa perintah Allah kepada Nabi kita agar mengucapkan seruan serupa itu, sebagai kelanjutan semangat agama Nabi Ibrahim. Diadopsi dengan sedikit perubahan, yaitu dari "wa ana awwal al-muslimin" (dan aku adalah yang pertama dari mereka yang pasrah) menjadi "wa ana min al-muslimin" (dan aku termasuk mereka yang pasrah). (Lihat QS. al-An'am/6:161-162).

[7] Lihat, a.l., QS. al-Baqarah 2:48, 123 dan 254.

[8] Ada sebuah hadits yang amat terkenal, yang banyak dikutip para ulama kita, berkenaan dengan penjelasan Nabi saw tentang arti Iman, Islam dan Ihsan. Ketika Nabi saw ditanya tentang Ihsan (al-ihsan), beliau menjawab, "Al-ihsan ialah bahwa engkau menyembah Allah seolah-olah engkau melihatNya; dan kalau pun engkau tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihat engkau."

[9] QS. al-Hadid 57:4

[10] QS. Thaha 20:14.

[11] QS. al-Baqarah/2:156.

[12] Lihat al-Jurjawi, h. 228. Hadits dengan makna yang sama juga dikutip oleh al-Sayyid Muhammad Husayn al-Thaba'thabati dalam Al-Mizan fi Tafsir al-Qur'an, 21 jilid (Beirut: Mu'assat al-A'lami, 1403/1983), jil. 2, h 25. Al- Thaba'thabati juga memberikan uraian dengan nada dan makna yang sama dengan al-Jawzi dan al-Jurjawi.

[13] Abu 'Abd-Allah ibn al-Qayyim al-Jawzi, Zad al-Ma'ad fi Huda Khayr al-Ibad, 4 jilid (Beirut: Dar al-Fikr, 1392/1973), Jil. I, h 154.

[14] QS. al-Hadid [57]: 4.

[15] QS. al-Baqarah [2] : 183.

[16] QS. Qaf [50]: 16.

[17] QS. al-Anfal [8]: 24.

[18] 17. QS. al-Kahfi [18]: 110.

[19] QS. al-Baqarah [2]:185

[20] Lihat QS Ali Imran [3]: 97

[21] Lihat QS Al-Baqarah [2]:275

[22] QS Al-Baqarah [2]: 282

[23] QS Al-Maidah [5]: 2

[24] QS al-Taubah [9]: 34

[25] Lihat QS Al-Baqarah [2]: 282-283.

[26] QS Al-Baqarah [2]: 283

[27] QS Annisa [4]: 4, 128, 135, 5:8